Selasa, 22 Juli 2008

Menaklukan Jiwa Bersama Al-Mahsyar


A.Sekilas Al-Mahsyar


Saat disebut kata “al-mahsyar”, dalam benak kita akan tergambar sebuah tempat di mana orang-orang berkumpul untuk mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatan mereka di dunia. Dalam pengertian tersebut, Al-Mahsyar merupakan tempat yang di dalamnya terdapat sebuah episode setelah Hari Kiamat terjadi, dan menjadi tempat penentuan: apakah seseorang akan memasuki surga atau tergelincir di shirat al-mustaqim lalu menjadi penghuni neraka. Kepastian seseorang selamat dan menjadi penghuni surga, ditentukan oleh timbangan (mizan) kebajikannya yang lebih berat, yang diperolehnya saat hidup di dunia.

Jika kita telaah lebih lanjut, peristiwa yang terjadi di al-mahsyar pun sejatinya dapat kita temukan jauh sebelum peristiwa “sebenarnya” terjadi. Peristiwa perhitungan (hisab) yang akan terjadi, sesungguhnya dapat kita artikan sebagai introspeksi, membuat perhitungan atas kinerja jiwa (nafs) dan seluruh anggota tubuh kita: apakah lebih banyak berbuat baik atau sebaliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).

Berdasarkan alasan inilah, kata Al-Mahsyar diambil menjadi nama sebuah padepokan yang di bimbing Ustad Zainal Abidin, seorang zahid yang dengan ikhlas mengajak jamaahnya mengenal Allah (makrifatullah) lebih dekat. Melalui padepokan inilah Ustad Zainal Abidin membimbing setiap orang untuk memiliki niat, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang diridhai Allah Swt., yang bermanifestasi pada kebaikan di dunia dan akhirat.

Sebagai sebuah lembaga kajian dan pelatihan tazkiyatunnafs (penyucian jiwa), Al-Mahsyar telah eksis dan berkembang sejak 1999. Namun, melihat antusias jamaah di berbagai daerah yang semakin hari semakin bertambah, maka Padepokan Al-Mahsyar secara resmi melakukan launching pada 8 Juni 2008 dengan memiliki keabsahan hukum berdasarkan Akta Notaris No.17 tanggal 25 Januari 2007 serta SK Menteri Hukum dan HAM No.829.HT.01.02. Tahun 2007. Hal tersebut sekaligus memantapkan niat Ustad Zainal Abidin dan jamaah Al-Mahsyar untuk menegakkan ketauhidan dan menyebarkan ajaran Islam yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.

Agar maksud di atas dapat terealisasi secara lebih luas, Padepokan Al-Mahsyar membuka diri dan mempersilakan siapapun untuk melakukan kajian dan pelatihan tazkiyatunnafs, baik perseorangan maupun kelompok. Adapun metode yang digunakan mengacu pada tuntunan yang telah dicontohkan Rasulullah Saw., seperti puasa, qiyamullail, i’tikaf, uzlah, dan sejumlah metode lain untuk membentuk setiap jamaahnya menjadi manusia paripurna (insan kamil).



B.Mengenal Ustad Zainal Abidin

Melihat penampilannya, siapapun tidak akan menyangka bahwa Ustad Zainal Abidin merupakan sosok zahid yang telah sejak lama menempa diri untuk menjaga hati, pikiran, lisan, dan perbuatannya dari gelimang dosa duniawi. Lelaki berusia 55 tahun kelahiran Magelang, Jawa Tengah, ini pun benar-benar jauh dari kesan sosok kyai atau ustad kebanyakan yang umumnya secara “formal” mengenakan sorban dan jubah. Meski demikian, penampilannya yang sederhana justeru mampu memberikan keteduhan bagi setiap orang yang bertemu sapa dengannya.

Beragam cobaan hidup yang telah dilaluinya menjadikan Ustad Zainal Abidin sebagai sosok yang tawadhu’ dan selalu berserah diri kepada Allah Swt. Ibarat padi, kematangan pengalaman dan ilmunya telah membuatnya tunduk, sadar, semakin mengenali Sang Pencipta. Baginya, mengenali (makrifat) Sang Pencipta merupakan kebutuhan dasar setiap hamba yang hendak mendapatkan rahmat-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.


C.Metode
Beragam metode yang dikaji dan dilatih memiliki tujuan untuk membersihkan jiwa dari segala hawa nafsu yang dibawa oleh setan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Adapun beberapa metode yang di maksud antara lain:

a.Zikir dan Salat Khusyuk
b.Qiyamullail
c.Puasa
d.I’tikaf
e.Uzlah
f.Teori lainnya berdasarkan metode tasawuf dan makrifatullah.

Beberapa kajian teori ditampilkan dengan menggunakan infocus sehingga lebih mudah dan interaktif.


D.Alamat Padepokan

Kampung Sawangan Baru No. 51 RT. 03/VIII, Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Email: al_mahsyar@yahoo.com, website: http://al-mahsyar.blogspot.com.


E.Contact Person
a.0878 800 45 070 (Imam Fathurrohman)
b.0818 711 730 (Ahmad Suhijriah)
c.0817 987 4522 (Firmansyah)

4 komentar:

Panasenda mengatakan...

Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir

Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian

Sudah kubuang-buang tuhan
Sudah kulupa-lupakan
Sampai ingat dan lupa
Lenyap jaraknya

Sampai tahu tak atau menjelma
Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada
Yang menghimpitku di tengahnya

Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan.

Yopi' Jgja

Panasenda mengatakan...

Silakan temen-temen al-mahsyar mengunjungi URL saya di http://dapuranku.blog.friendster.com

yopie

Panasenda mengatakan...

Negara menghendaki stabilitas.Masyarakat menghendaki ketertiban. Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.

Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan adalah arus air sungai yang mencari muaranya.

Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. Orng yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.

Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?

Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.

Adakah makna hal itu dalam kehidupan kita?

Panasenda mengatakan...

Ilmu selalu membukakan cahaya. Tapi, di setiap ujung langkah, kegelapan mencegatnya. Ternyata, itulah yang memungkinkan perjuangan menjelajahi arasyi ilmu "berjanji" untuk mengantarkan kita ke keabadian. Sebut: ke Tuhan.

Jika seseorang menggenggam keyakinan ilmu tanpa menyisakan "uang tak terduga", sesungguhnya ia sedang melamar "kematian". Kata kematian sengaja kita taruh diantara tanda petik karena kosmologi yang kita pahami—seperti Syekh Siti Jenar memandangnya—ternyata terbalik.
Wali "sempalan" itu memandang dunia dan kehidupan absrud adanya. Kejelasannya sangat tidak jelas dan ketidakjelasannya sangat jelas. Mungkin ada kata tertoreh yang lebih lugas: "Saksikanlah, kematian bertebaran dalam kehidupan!"
Kematian berlapis-lapis dan berdimensi. Berbagai kematian hampir tak diketahui oleh mereka yang menyangka sedang tinggal dalam kehidupan. Kematian memang tak terlihat. Ini membuat orang bersorak-sorai di lantai pesta kematian yakni kehidupan. Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan.
Orang mencemaskan kematian. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan yang memperanakkan penindasan dan perang.
Kematian bertebaran dalam kehidupan. Kematian riuh rendah. Oleh karena itu, di segala zaman, amat sedikit orang yang bersedia menempuh jalan sunyi. Amat sedikit orang bertanya. Sebab, ilmu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kebudayaan menjawab pertanyaan dengan perombakan. Pembangunan menjawab pertanyaan dengan peruntuhan. Sejarah menjawab pertanyaan dengan perubahan. Dan politik menjawab pertanyaan dengan senapan.

Siti Jenar memilih jalan sunyi itu. Betapa terkutuk ia, tetapi betapa agung sakit yang dikunyahnya. Bukan Siti Jenar, tapi "Siti Jenar". Bukan figurnya, tapi substansi dan posisi simbolisnya. Siti Jenar sudah terpenjara: kumal, kumuh, dan barangkali terkutuk-oleh "syariat" sejarah. Oleh formalisme dan "materialisme". Tapi "Siti Jenar" adalah salah satu idiom yang menggairahkan untuk menyebut bagian—dari dunia dan kehidupan—yang mempertanyakan. Menawar. Menggugat.
Tatkala mengantarkan "kematian"-nya, Sunan Bonang menurut salah satu versi legenda tentangnya berkata, "Engkau kafir di mata manusia, tapi muslim di pangkuan-Nya."
Alangkah berbahaya. Ini revolusi filsafat, juga teologi. Itulah pintu untuk menjumpai kehidupan sejati dibalik kematian yang kita hidup-hidupkan. Dan pintu itu harus ditutup rapat-rapat: tidak saja oleh ideologi pembangunan yang memompa-mompa kesementaraan yang berujung kebuntuan dan serta batu bata emas permata yang berujung kemusnahan. Pintu itu bahkan di gembok erat-erat oleh kekuasaan syariat di pangung pemelukan agama. Tampaknya, Sunan Bonang mengucapkan kalimat "subversif" itu dalam sidang tertutup yang dilarang diperdengarkan ke telinga umat.

Maka, Siti Jenar harus disembunyikan. Ia ancaman terhadap kebakuan, kebekuan dan kemapanan. Ia ancaman bagi tradisi, konvensi, pakem, ketertaatan yang selesai: yakni segala bangunan, sistem, keberlakuan nilai, yang diresmikan untuk tak boleh diubah, untuk menjadi museum.

Dalam kebudayaan, adanya kehidupan ditandai oleh terus-menerus berlangsungnya transformasi kreatif. Atau paradigma dalam penjelajahan ilmu, inovasi dalam kesenian, ijtihad dalam agama. Itu semula jalan sunyi. Dunia kekuasaan mencurigainya, formalisme agama menyempalkannya, kebudayaan mengangapnya gila, dan kebanyakan manusia tak menyapanya.
Wajah "Siti Jenar" membayang di keremangan dunia puisi, yang terduduk sepi di pojok pasar. Terselip dibalik lembaran-lembaran ilmu yang berhasil memotret realitas tetapi gagal merekam geraknya. Kalau ditanyakan kepadanya-"Dimana letakmu dalam tata nilai budaya?, ia menjawab-"Aku berumah di geraknya. Aku berjalan melintasi petak demi petak kebekuannya. Aku tidak percaya kepadanya karena dia palsu: kalau dipertahankan ia mati, kalau di ubah ia menjelma kelenyapan demi kelenyapan".

Siti Jenar sudah dipatungkan dalam format nilai budaya sejarah: ia mati, dimatikan, dan menjadi kematian. Tapi "Siti Jenar" sudah hidup, mengatasi budaya, dan bergabung ke keabadian.
Ketika dipanggil menghadap sidang para wali, ia menjawab, "Siti Jenar tak ada. Hanya Tuhan yang ada."

Siti Jenar bukan Tuhan. Sama sekali bukan Tuhan, Apa yang ia lakukan "hanyalah" peniadaan diri. Sebab, memang hanya itulah satu-satunya jalan bagi manusia. Hanya Tuhan yang sungguh-sungguh ada. Manusia hanya seakan-akan ada, hanya diadakan, diselenggarakan. Sejatinya tak ada. Maka, jalan agar tak palsu, agar sejati, ialah meniada, bergabung kepada satu-satunya yang ada. Itulah tauhid.

Ini juga bukan soal tasawuf, mistik, dan kebatinan. "Siti Jenar" ditemukan oleh orang-orang tua yang mulai melihat bahwa segala sesuatu yang ia ada-adakan selama hidupnya dengan keringat dan tumpukan dosa ternyata sangat potensial untuk tiada. "Siti Jenar" ditemukan oleh para penguasa yang di ujung jatah keberkuasaannya ia memperoleh lebih banyak ketidakamanan.
"Siti Jenar" menemani orang yang dikejar-kejar karena mengugat dan menawarkan kehidupan kepada kematian yang dilestarikan. "Siti Jenar" terkapar bersama sedikit orang penolak kematian yang berwujud otoritarianisme politik, ketakberbagian ekonomi dan kejumudan kultur. "Siti Jenar" bernyanyi perih dalam tidur orang-orang yang meletakkan fikih sejajar dengan firman dan identik dengan Tuhan. "Siti Jenar" tercampak dari arena kebudayaan yang hanya sanggup menerima verbalitas bahasa, yang mengahafalkan hidup adalah KTP, negara, norma, undang-undang, dan juklak-juknis. Terlempar dari kebudayaan yang bersembahyang demi prevensi kepegawaian teologis dan tidak dalam dinamika ilmu tarekat; yang berpuasa untuk lapar, berzakat untuk kredit status, berhaji untuk keningratan. "Siti Jenar" diusir oleh formalisme, "syariat" dan fanatisme.
Kalimat "Siti Jenar tak ada, yang ada hanya Tuhan" tidak sedikitpun mengindikasikan bahwa ia "menuhankan diri". Ia bahkan menyadari hakekat ketiadaannya.

Firaun tidak pernah menyatakan "Akulah Tuhan!". Yang ia lakukan-sehingga bermakna menuhankan diri ialah menomorsatukan yang selain Tuhan: ambisi kekuasaan, maniak harta benda, mengumbar nafsu, merancang segala sesuatu, dan mengeksploatasikan apa saja yang bisa dijangkau untuk kepentingan karier dan masa depan pribadi.
Itulah obsesi populer kita sehari-hari. Itulah jalanan ramai, pasar riuh rendah kita semua.